Hujan masih belum mau
berhenti, jam sudah menunjukkan pukul Sepuluh lewat tujuh menit. Padahal hari
ini kami sudah berencana untuk jalan-jalan ke salah satu desa yang terletak di
ujung kabupaten Aceh Besar. Desa yang mempunyai alam yang begitu indah nan
memukau.
Jika hujan masih saja
membasahi bumi, maka rencana akan kami batalkan. Seakan mengerti tentang
segenap keinginan kami, hujan pun berhenti perlahan. Dari mulai janji untuk
berangkat pukul sepuluh, Karena satu dan lain hal kami baru berangkat pukul
setengah dua belas siang.
Roda pun siap berputar
menapaki ganasnya aspal jalan, rute pun kami susun untuk meminimalkan jarak
yang harus di tempuh. Setelah diskusi panjang lebar yang memakan waktu tiga
hari tiga malam alias tiga menit diskusi mengenai rute pun selesai.
Petualangan pun di
mulai…..
Jalan baru dari arah
Blang Bintang melewati radar stasiun Sultan Iskandar Muda mulai kami jajaki,
perlahan-lahan motor keluaran tahun 2003 yang saya tumpangi bersama seorang
kawan mulai ngedan ketika menghadapi medan yang curam ke atas alias tanjakan.
Jalan yang kami lalui
ini begitu eksotis karena di kelilingi oleh bukit-bukit yang di tumbuhi beragam
tanaman liar. Bandara Sultan Iskandar Muda Blang Bintang bisa kita lihat dari
arah puncak bukit di antara jalan yang kami lalui, sungguh indah. Namun,
Melewati jalan ini harus hati-hati karena terkadang ada sapi yang mejeng di
badan jalan.
Perjalanan pun kami
teruskan, jarak 18 km pun seakan tak terasa hingga kami baru sadar telah tiba
di daerah Krueng Raya, Aceh Besar. Namun bukan Krueng Raya yang menjadi tujuan
kami, melainkan Desa Leungah, Kec. Seulimum, Kab. Aceh Besar yang menjadi
tujuan utama kami kali ini.
Ada yang sudah pernah
dengar nama desa tersebut? Semoga saja belum, jadi saya bisa lebih leluasa
untuk bercerita.
Setelah membeli nasi
bungkus untuk makan siang, perjalanan kami lanjutkan. Motor kami pun kembali
ngedan melawan tanjakan, satu dua hingga sudah tidak terhitung berapa tanjakan
yang sudah kami lalui.
Perjalanan menuju
Leungah akan ditemani oleh perbukitan dan laut yang terhampar bak permadani
terbang, jika kita menuju ke sana maka sebelah kanan jalan adalah bukit dan sebelah
kiri adalah lautan. Jadi harus ekstra hati-hati ketika memacu kendaraan.
Ditengah perjalanan ban
motor yang ditumpangi kawan saya kempes, karena ia menggunakan ban kecil untuk
ban belakang. Kami pun terdiam sesaat memikirkan solusi yang tepat, karena
jarak ke kampong terdekat masih jauh. kalau boncengan bertiga tentu tidak
memungkinkan berhubung jalanan yang tidak begitu mulus ditambah dengan
kelok-kelok yang aduhai membahana. Untunglah ada seseorang yang lewat dan
menanyakan kenapa, hingga akhirnya salah seorang dari kami berboncengan sama
seseorang tadi.
Setelah menempuh
perjalanan yang cukup panjang, melewati perbukitan yang berkelok-kelok akhirnya
kami tiba di desa Lampanah, tapi tujuan utama kami adalah kampong Leungah bukan
Lampanah. Dari Kampung Lampanah menuju Leungah kira-kira jarak yang masih harus
ditempuh adalah 5 km lagi, tapi jalannya sudah bagus dan tanjakannya juga tidak
begitu banyak lagi.
Welcome to Leungah……
Alhamdulillah akhirnya
sampai juga di desa Leungah setelah menempuh perjalanan lebih kurang 60 km.
sebetulnya jaraknya tidak begitu jauh, Cuma karena melewati perbukitan dan
jalan yang bergelombang perjalanan jadi terasa begitu jauh. Begitu sampai di desa
Leungah, masyarakat setempat langsung menyambut kami bak menyambut raja,
kalungan bunga di kalungkan pada leher kami dan tarian daerah mereka tampilkan
dengan penuh semangat. Namun ternyata itu hanya ilusi semata.
Kira-kira dari jarak 50
meter di atas jalan perbukitan sebelum sampai, kita akan terlebih dahulu di
suguhi pemandangan areal persawahan yang hijau. Lalu Begitu sampai, sebuah
warung kopi akan menyambut kita, dan jangan lupa untuk menyapa mereka dengan salam,
karena memang begitulah adat yang berlaku di daerah Aceh.
Kami pun memasang muka
manis-manis karena bertamu ke tempat orang, tapi tenang saja masyarakat disini
ramah-ramah, tapi dengan syarat kita juga harus ramah. Berhubung kami sampainya
sudah siang dan jam bertengger di angka dua, kewajiban utama pun harus segera
kami tuntaskan yaitu menghadap-Nya. Tidak susah mencari mesjid di sini, karena
memang mesjid hanya ada satu dan lokasinya pun tidak jauh dari pintu gerbang
masuk desa Leungah.
Desa Lampanah dan
Leungah memiliki ke eksotisan yang memang luar biasa, pertama sekali kita akan dimanjakan
dengan hamparan sawah yang menghijau yang terlihat dari atas perbukitan tadi,
rangkang-rangkang atau biasa juga disebut dengan Jambo bertengger di beberapa
petak sawah. Persawahan ini dikelilingi oleh perbukitan dan pemukiman
masyarakat desa Leungah itu sendiri, rasanya cukup enak kalau mau bersantai di
rangkang yang ada di tengah-tengah persawahan itu.
Di ujung desa Leungah
kita akan di manjakan lagi dengan panorama lautan lepas yang terhampar luas.
Lagi-lagi alam menyuguhkan keindahannya, ditepi pantai puluhan pohon Jamblang yang
sedang berbuah terlihat begitu ranum, daun-daunnya melambai seakan menyapa kami
yang baru datang. Sepi, tenang dan teduh, tiga kata yang mewakili pantai ini.
kalau kita ingin santai
atau berburu makhluk laut, maka pantai ini sangatlah cocok untuk menjadi
pilihan anda. Belum banyak manusia yang menjamah tempat ini, palingan hanya
masyarakat sekitar yang mencari sesuap nasi dengan menebar jala. Bebatuan hitam
dengan berbagai ukuran juga ikut menghiasi bibir pantai, lengkap sudah
keindahan pantai ini. Nikmatnya berkunjung ke tempat ini.
Ditengah desiran ombak
menghempas bebatuan, saya merenungkan sesuatu. Desa ini terletak di daerah yang
cukup jauh dengan ibukota kabupaten, jarak yang harus mereka tempuh jika ingin
mengurus suatu hal ke ibu kota kabupaten melebihi 80 km, itu baru pergi saja,
belum pulangnya. Bayangkan betapa capeknya warga di sini jika harus mengurus
suatu keperluan apalagi ketika berurusan dengan birokrasi pelayanan publik
pemerintah kita yang sembrono. Karena berdasarkan survey kecil-kecilan yang
saya lakukan selama ini, belum pernah saya temukan masyarakat yang senang
ketika harus berurusan dengan kantor urusan pelayanan public, misalnya ngurus
pajak dan lain sebagainya. Selalu berujung dengan kecewa.
Tentunya ini menjadi PR
bagi pemerintah kabupaten Aceh Besar untuk memikirkan solusi bagi masyarakat di
sini jika harus mengurus suatu keperluan ke Ibu kota kabupaten tanpa harus
menempuh jarak yang begitu aduhai. Di samping juga harus terus memperbaiki
pelayanan public kepada masyarakat terutama pelayanan yang diberikan pegawai-pegawai
pemerintahan. Bukankah mereka di gaji dari hasil pajak yang dibayarkan rakyat.
Sudah seharusnya dan menjadi kewajiban jika pegawai-pegawai pemerintah itu
memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Ah sudahlah, kalau membahas
urusan yang satu ini metume di ek darah.
Perenungan saya tidak
berhenti sampai disitu, pikiran saya kembali berkelana. Aceh Besar adalah
kabupaten yang begitu kaya akan objek wisata, namun hingga detik ini, Aceh
Besar yang telah mengalami pergantian pemimpin entah ke berapa kian kali, tapi
untuk urusan pariwisatanya seakan berjalan di tempat. Hanya satu dua objek
wisata yang baru menjadi fokus pemkab. mungkin jika pemerintah sendiri mau
serius dalam urusan yang satu ini, begitu banyak warga yang tertolong
ekonominya hingga Aceh Besar tidak lagi masuk dalam jajaran kabupaten termiskin
di Aceh.
Memang tak dapat
dipungkiri ketika kita bertamu ke sini,
kita tidak akan menemukan masyarakat yang seakan putus asa, semuanya
terlihat ramah-ramah seakan tidak ada beban apa-apa. Padahal mereka tinggal di
daerah yang bisa dibilang cukup terpencil. Leungah, desa eksotis dengan
keglamouran alam yang di miliki, tapi kau seakan di campakkan oleh majikan mu
sendiri ke sebuah negeri antah berantah tanpa pernah di tanyakan kabarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar