Berbicara
kampus Impian yang terbayangkan adalah universitas yang mempunyai beragam
fakultas, dengan sarana dan prasarana yang lengkap, mempunyai jaringan alumni
yang tersebar di mana-mana, tenaga pengajar di isi oleh profesor-profesor
lulusan kampus ternama di seantero dunia. Tapi di zaman sekarang apa hanya
sebatas itu kriteria kampus impian?, di dunia kita mengenal Harvard sebagai
kampus impian bagi ratusan juta lulusan SMA atau sederajat. Indonesia sendiri
mempunyai kampus impian yang dikenal sebagai kampus sejuta umat, yaitu
Universitas Indonesia. Kalau Indonesia punya UI dan dunia punya Harvard maka
Aceh punya Unversitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry. Yang terkenal dengan
sebutan kampus Jantong Hate Masyarakat
Aceh.
Kedua
kampus ini telah menjelma sebagai sentral pendidikan di bumi Serambi, keduanya
telah mengabdikan diri untuk Aceh dan Indonesia sejak tahun 1960 hingga kini.
Mungkin sudah tidak terhitung alumni yang telah dihasilkan dari kedua kampus ini.
Alumni tersebut tersebar ke seluruh pelosok bumi, mengabdikan diri untuk anak
negeri dan masyarakat dunia. Tentu kita patut berbangga akan pencapaian ini.
Namun di balik kebanggaan tersebut, sebetulnya ada luka yang baru tersayat dan
perihnya masih begitu terasa, luka yang semakin hari semakin menganga.
Sebetulnya
kalau mau jujur kita semua mempunyai luka tersebut, ada yang tidak begitu
mempedulikannya dan ada yang begitu serius mempedulikan luka tersebut agar
cepat sembuh. Luka yang saya maksudkan di sini adalah krisis moral yang
disebabkan oleh minimnya pengetahuan agama di kalangan mahasiswa. Bukankah ilmu
tanpa moral dan etika itu tidak berarti apa-apa?, setinggi apapun ilmu dan
prestasi yang kita capai tanpa adanya moral dan etika sungguh tiada bernilai.
Saat
ini kita di hadapkan pada suatu keadaan dimana masyarakat kita dan terlebih
lagi mahasiswa sedang mengalami krisis moral, budaya barat yang negatif telah
bersemayam di jiwa dan pikiran kita. Pacaran menjadi suatu hal yang biasa dan
tidak terlihat aneh lagi, bahkan sekarang boncengan sesama jenis malah di
anggap tidak normal, Naudzubillah.
Saban
malam minggu kita akan melihat anak-anak kost berboncengan ria dengan berbagai
gaya di atas motor bersama lawan jenisnya. Sungguh ini realita yang terjadi di
bumi Serambi dan yang lebih miris lagi kebanyakan pelakunya adalah mahasiswa.
Mau jadi apa bangsa ini kalau generasi penerusnya seperti itu, bukankah
mahasiswa yang sekarang lagi menuntut ilmu di perguruan tinggi yang tersebar di
seluruh Aceh itu akan menggantikan pemimpin-pemimpin yang sebentar lagi akan berakhir
masa jabatannya. Tentu kita tidak mau Aceh di pimpin oleh orang-orang yang
mengamalkan praktek negatif budaya barat.
Pacaran
menjadi salah satu contoh kecil dari betapa rusaknya moral mahasiswa kita saat
ini. Kutukan, hinaan, gunjingan tentu tidak akan mengubah itu semua. Mengamati
fenomena seperti ini berarti ada yang salah dari sistem pendidikan kita selama
ini. Mewujudkan kampus impian harus di mulai dari mengubah dulu sistemnya ke
arah yang lebih baik untuk nantinya melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang
kompeten di bidang dunia dan akhirat.
Di
kampus tempat saya menimba ilmu sekarang mata kuliah agama hanya dua sks
(sistem kredit semester) dan masuk ke dalam mata kuliah umum, yang artinya
semua jurusan tanpa terkecuali wajib mengambil mata kuliah yang satu ini.
Penyebabnya tentu kita semua tahu, dikotomi ilmu telah membuat sistem
pendidikan kita terpisah menjadi dua bagian. Ilmu dunia dan ilmu agama.
Sehingga di jurusan yang memang mempelajari ilmu keduniaan seperti kedokteran,
teknik, dll. Kita tidak akan menemukan adanya mata kuliah keagamaan kecuali
mata kuliah umum tadi. Miris memang melihat realita ini, ketika ilmu agama
semakin dijauhkan dalam kehidupan dan tentunya pendidikan.
Tahun
ajaran 2013 saya mencoba peruntungan di UIN Ar-Raniry sebagai mahasiswa baru di
fakultas Syariah, sementara di Unsyiah juga masih tercatat sebagai mahasiswa
semester tiga. Jadi waktu itu saya kuliah di dua kampus sekaligus. Satu
semester di UIN akhirnya saya mengundurkan diri karena satu dan lain hal. Namun
tak dapat di pungkiri antara mahasiswa UIN dan Unsyiah tidak jauh berbeda,
memang kalau dilihat dari sisi religius UIN masih boleh di ancungi jempol, misalnya
dalam hal praktek berbusana dimana tidak ada satupun mahasiswi UIN yang boleh
menggunakan celana saat ke kampus.
Namun
UIN masih jauh dari kampus seperti yang saya harapkan, karena realita yang saya
lihat mahasiswa atau mahasiswi nya ketika diluar juga tidak jauh berbeda
perilakunya dengan mahasiwa di kampus yang mata kuliah agamanya hanya dua sks.
Bukan bermaksud membanding-bandingkan atau menghakimi, tapi itulah realita. Sampai
kapan kita mau menyembunyikan luka ini. Di UIN kita juga akan menemukan dosen dengan
pemahaman sekuler dan orientalis, karena mereka menuntut ilmu agama ke Barat
sehingga pemikiran mereka ikut-ikutan menjadi sekuler.
Mengamati
semua realita di dunia kampus seperti saat ini, impian saya jadi berlabuh ke
Dayah Mudi Mesra Samalanga, dimana pada tahun 2004 resmi mendirikan Sekolah
Tinggi Agama Islam Al-Aziziyah, sekarang menjadi Institut Agama Islam
Al-Aziziyah. Saya bangga dan kagum dengan sistem pendidikan di dayah yang
sangat mengutamakan ilmu agama daripada ilmu dunia, contohnya dalam sistem
belajar Institut Agama Islam di Al-Aziziyah yang hanya mempelajari ilmu
perkuliahan di waktu siang sampai menjelang ashar. Selebihnya mereka
mempelajari ilmu agama melalui kitab-kitab kuning. Dengan sistem seperti ini
paham orientalis dan sekuler susah untuk menyusup ke dalam pikiran mahasiswa.
Bertanya masalah efektif tentu saja efektif, karena mereka sudah terbiasa
dengan tradisi belajar.
Pemondokan
atau asrama juga sangat membantu dalam mengobati jiwa-jiwa mahasiswa yang
sedang krisis moral akut, karena apabila tidak dilakukan pemondokan mahasiswa
akan bebas tanpa pengawasan seperti yang kita lihat selama ini. Jadi banyak hal
yang harus kita benahi dalam membangun kampus impian, dimulai dari mengubah
sistem pendidikan yang lebih mengarah ke ilmu agama, sarana dan prasarana yang
menunjang, aturan perkuliahan yang sesuai dengan syariat, tenaga pengajar yang
paham ilmu agama dan berkompeten di bidang dunia. Sehingga nantinya akan lahir
lulusan yang bermoral, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan siap
mengabdikan diri untuk masyarakat dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar