Lahir dan besar di Aceh, saya tahu betul bagaimana ramahnya orang Aceh. Jika bertamu pada siang hari maka tuan rumah tak segan-segan untuk menyuguhi makan siang.
Pada bulan Agustus 2016 saya dengan 5 rekan dari Aceh di undang untuk mengikuti acara Datsun Risers Expedition 2. Acara ini merupakan kegiatan touring dengan pihak Datsun untuk menyambangi Desa Deyah Tanoh Pidie guna melaksanakan program CSR (Corporate Social Responsibility) Datsun.
Pada bulan Agustus 2016 saya dengan 5 rekan dari Aceh di undang untuk mengikuti acara Datsun Risers Expedition 2. Acara ini merupakan kegiatan touring dengan pihak Datsun untuk menyambangi Desa Deyah Tanoh Pidie guna melaksanakan program CSR (Corporate Social Responsibility) Datsun.
Sebelum menuju ke Pidie, para risers di ajak untuk keliling Kota Banda
Aceh guna menyambangi tempat-tempat wisata di Kota Madani. Sekedar informasi, risers adalah sebutan untuk para peserta
yang akan mengikuti touring bersama
Datsun. Para risers semuanya
berjumlah 12 orang yang berasal dari 3 kota ; Jakarta, Bandung dan Banda Aceh.
Selama 3 hari kegiatan, ada banyak
sekali tempat wisata yang berhasil kami kunjungi seperti Museum Aceh, Museum
Tsunami, Kapal di atas Rumah, Makam Sultan Iskandar Muda hingga Gua Tujoh
Laweung. Dari semua tempat wisata yang kami sambangi saya sangat terkesan
dengan penyambutan di tempat wisata Kapal di Atas Rumah Lampulo.
Adalah Nek Kolak, satu dari sekian banyak
korban yang berhasil selamat dari amukan gelombang tsunami. Beliau lah yang
telah membuat saya terkesan dengan kisah heroiknya dan ciri khas penyambutannya
yang “Aceh Banget”. Ketika musibah Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004,
Nek Kolak berhasil selamat setelah menaiki sebuah kapal.
Kecamatan Lampulo yang menjadi kediaman
Nek Kolak merupakan kawasan terparah yang terkena tsunami karena memang sangat
dekat dengan laut. Semua rumah rata dengan tanah tak terkecuali manusia.
Sebelum musibah Tsunami melanda Aceh, Nek Kolak seperti biasa menjalani
aktifitas kesehariannya dengan berjualan Kolak untuk para nelayan. Atas dasar
pekerjaannya lah, Nenek yang menjadi tour
guide wisata Kapal di Atas Rumah ini mendapat julukan “Nek Kolak”.
“Dulu sebelum Tsunami, nenek biasa jualan kolak
untuk para nelayan yang mau melaut. Makanya sampek sekarang Nenek di panggil
Nek Kolak. Maunya adek-adek ini cobain kolak buatan Nenek. Tapi kata panitia
tadi waktunya singkat kali karena harus ke Siglie lagi ya?. ” kami pun serentak
mengiyakan pertanyaan Nek Kolak.
Ketika mengatakan “Maunya adek-adek ini cobain kolak
buatan Nenek” ada rasa nggak enak yang tergurat pada wajah Nek Kolak. Suatu
perasaan tidak enak hati karena merasa kurang bisa menjamu tamu dengan baik. Sudah
menjadi adat kebiasaan orang Aceh pada umumnya untuk menjamu tamu yang tiba di
siang hari dengan makan bersama. Ya, ketika menyambangi Kapal di Atas Rumah
kami tiba tepat pada siang hari.
Keadaan ini tercermin dari bahasa tubuh Nek Kolak
ketika kami hendak berpamitan. Perasaan “hana
mangat” ini biasa saya temukan pada wajah empunya rumah ketika ia merasa belum
menjamu tamunya dengan baik.
Jadi sekarang nek kolak ga bikin kolak lagi?
BalasHapusNggak bikin lagi Ayi, beliau udah beralih profesi jd tour guide. Pdhal pengen lah kmarin tu ngerasain kolak nenek kolak. Pernah ke sana Ayi?
HapusAda minta resep kolak, dekmat? Jeut ta coba di rumcay baru 😊
BalasHapusBuru2 kali kemarin kak. Nanti kita rihlah ke sana skali ya, skalian kenalan sama Nek Kolak. Siapa tw bsa kenalan sama cucu nek kolak jga.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussingkat kali ceritanya dek mat
BalasHapus400 kata bang. Rencana emg mw buat singkat2 tp akan ada next post trus.
HapusJudulnya lebih cocok "misteri kolak nek kolak"
BalasHapusItu nggk akan ke detect google bang, nggk bsa page one nanti.
BalasHapusDekmat, ditunggu cerita nenek yg dr pidie jaya ya...
BalasHapusSalam kenal nek kolak
Nanti kak akan ada next post. Udah pernah ke kapal itu Kak Tina?
Hapus