Ketika warga kota mengeluhkan listrik yang tiba-tiba mati tanpa pemberitahuan sebelumnya. Nun jauh disana, di daerah bekas konflik. Masyarakatnya sudah terbiasa hidup dengan listrik yang mati tiga kali sehari. Sinyal hp yang hanya bisa nelpon dan sms serta siap-siap kebanjiran ketika hujan terus mengguyur sepanjang hari. Inilah dia Aceh Jaya, daerah yang tidak sesuai dengan nama.
**
Saya
bersama 18 anak muda dari Kota Banda Aceh di minta oleh Dinas Pendidikan Aceh
Jaya untuk melatih anak-anak terpilih dari tingkat SD hingga SMP untuk siap
mengikuti FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional) tingkat provinsi Aceh.
Selama
penugasan kami disebarkan ke 4 rayon, masing-masing di Rayon Jaya, Sampoiniet,
Teunom dan Panga. Kami datang dengan segenap asa dan kemampuan untuk
memantaskan anak-anak ini bertanding nantinya.
Saya
dan 5 anak muda lainnya ditugaskan ke rayon Sampoiniet. Jarak antara rayon ini
dengan Ibukota kabupaten adalah 42 km dan itu artinya selama 4 hari berturut-turut
kami akan memacu kendaraan setiap pagi sejauh 42 km.
Matahari
masih mengintip malu ketika mobil yang kami tumpangi membelah jalan lintas
banda Aceh - Meulaboh. Jarak Banda Aceh dengan Aceh Jaya sendiri sekitar 150
km. Hari pertama, Dinas Pendidikan Aceh Jaya berbaik hati mengantar langsung
menuju ke lokasi penugasan. Katanya biar tidak tersesat dan tiba tepat waktu. Untuk
mencapai lokasi, kami harus melalui jalan lintas kabupaten yang terkenal
kemulusan dan ketahanannya. Jalan ini memang cukup terkenal, di buat pasca
Tsunami namun hingga sekarang masih tahan.
Hingga
akhirnya kami tiba di depan sebuah bangunan biru muda. Bangunannya tidak
terlalu luas. Sekitar setengah lapangan bola. Khas sekolah perkampungan pasca
Tsunami. Dari dalam mobil kami mengamati sekelompok anak dan beberapa orang
dewasa seolah sudah menanti-nanti kedatangan kami. Secara teratur kami turun
dan melangkahkan kaki memasuki halaman sekolah. Suhu ketika itu cukup dingin ditambah
dengan banyaknya pohon dikawasan ini. Setelah perkenalan singkat, Pak Wali yang
mengantar kami mohon izin karena ada urusan kantor.
Baru
hari pertama penugasan kami langsung dihadapkan pada masalah. Listriknya mati.
Sehingga seorang rekan yang hendak mengeprint
tidak bisa. Sementara itu, pelatih vokal harus puas dengan mengandalkan gitar
biasa. Piano dan mikropon tidak bisa difungsikan.
Dari
guru di Sampoiniet, saya baru tahu bahwa listrik di tempat ini masih sering
mati. Menurut penuturan guru disini, dalam sehari listrik bisa mati hingga 3 kali
dengan durasi yang cukup lama. “Hah! 3 kali bu?” saya tersentak dengan alis
berkerut seolah tidak percaya. “Iya dek, listrik mati itu udah jadi makanan
sehari-hari. Terkadang sehari itu listrik cuma hidup satu jam, setengah hari
listrik hidup kita udah bersyukur sekali” kata bu Elly meyakinkan. Padahal
kecamatan Sampoiniet tidak terlalu terpencil. Jarak dari Ibu Kota Kabupaten
Aceh Jaya sekitar 42 km. Sementara itu dari Jalan Raya ke sekolah kami bertugas
hanya butuh waktu 5 menit.
Terlalu
sulit membayangkan untuk bertahan hidup di suatu daerah dengan pasokan listrik
yang sangat terbatas. Apalagi ini sudah zamannya internetan, informasi berubah
per sekian detik. Hitungan menit saja tidak buka smartphone akan banyak
informasi yang tertinggal. Ketika mendengar pengakuan bu Elly saya langsung
terbayang Jakarta. Kota Metropolitan dengan kesibukan 24 jam. Ketika listrik
mati semenit saja, maka media akan memberitakan seolah telah terjadi bencana
yang maha dahsyat. Komentarpun berseliweran yang kebanyakan berbicara kerugian.
Melihat
fenomena semacam ini tak jarang saya mengutuk pemerintah Aceh. Sebagai provinsi
yang mendapatkan dana otsus berlimpah. Pemerintah Aceh telah gagal memenuhi
hak-hak dasar masyarakatnya. Tahun 2015 saja, pemerintah Aceh harus mengembalikan
dana Otsus ke pusat karena tidak terpakai.
Di
samping listrik yang sering padam. Sampoiniet juga termasuk kecamatan yang
rentan terkena banjir. Aktivitas illegal logging yang dilakukan oleh
orang-orang tak bertanggung jawab membuat air akan memenuhi jalan ketika hujan
mengguyur sepanjang hari.
“kalau
hujan kami nggak bisa ikut latihan bang karena air dari gunung turun” jawab Dewi
ketika kutanyakan alasannya tidak ikut latihan.
Sekali
waktu saya mencoba menyelami kehidupan mereka. Bertanya banyak hal tentang
kehidupan dan aktivitas sepulang sekolah. Sekali-kali saya menguji wawasan
mereka. Bertanya tentang siapa presiden Indonesia, berita yang sedang hangat
diperbincangkan dan banyak hal lainnya. Ketika mengetes pengetahuan mereka
tentang nama Gubernur dan bupati saat ini saya sedikit terkejut mendapati
keduanya tidak mengetahui nama Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Jaya. “gimana mau update berita bang kalau listrik aja
matinya 3 kali sehari. Pulang sekolah nonton TV listrik keburu mati” keluh Isbandi.
Mendengar keluhan mereka saya pun bingung harus menanggapinya seperti apa.
Di
Sampoiniet sinyalpun masih jelek. Khususnya di desa Kuala Bakong. Tempat kami
bertugas. Ketika ingin searching saya
sampai harus ke jalan raya. Itupun sinyalnya sebatas Edge. Sebagai kabupaten hasil
pemekaran, Aceh Jaya memang terus berbenah. Pembangunan infrastruktur mulai
terlihat sana-sini. Namun sangat disayangkan ketika hak dasar seperti listrik
masih saja belum terpenuhi ketika daerah lain sudah bangkit menjadi Smart City.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar