Pertengahan Maret 2017, saya bersama tiga rekan meyambangi
lintas tengah Aceh yang meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh
Tenggara untuk sebuah kegiatan.
Sebagai anak muda yang bersahabat baik dengan laptop dan gadget, melihat pemandangan alam hijau
merupakan suatu kemewahan tersendiri bagi saya. Tak terhitung berapa kali mata
saya terpana ketika melihat hijaunya hutan Aceh sepanjang perjalanan dari Bener
Meriah menuju Aceh Tenggara.
Lintas Tengah Aceh sendiri termasuk daerah high land di Aceh yang sebagian besar
wilayahnya berupa hutan. Jadi sejauh mata memandang yang terlihat adalah
rimbunnya pepohonan. Hutan di daerah ini juga dikenal sebagai Kawasan Ekosistem
Leuser.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sendiri membentang seluas 2.255.577
Ha menurut SK Menhut No.190/Kpts-II/2001 atau dengan kata lain luas KEL
mencakup 40% dari total luas Aceh.
Dengan luasnya yang mencakup 40% luas Aceh, tidaklah heran
jika KEL melingkupi 13 kabupaten/kota. Mulai dari Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh
Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues,
Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur, hingga Aceh Tamiang.
Sementara di Sumatera Utara, ada di empat kabupaten yaitu Langkat, Dairi, Karo,
dan Deli Serdang.
Sumber SK Menhut No.190/Kpts-II/2001 |
Sepulang dari kegiatan tersebut saya baru sadar bahwa
perjalanan kami dari Gayo Lues menuju Aceh Tenggara melalui jantung Kawasan
Ekosistem Leuser.
Sejujurnya saya sangat bersyukur diberikan kesempatan oleh
Allah untuk menyambangi seluruh kawasan lintas tengah Aceh.
Masih sangat jelas terekam bagaimana perasaan kagumnya saya
melihat lebatnya hutan Aceh. Kabut putih yang menyelimuti pucuk pepohonan,
kicauan burung di pagi hari, kupu-kupu yang bergerombolan, menyentuh langsung burung
Rangkong paruh dua di habitat aslinya yang merupakan suatu kebetulan ketika
burung ini saya temukan sedang sakit di sekitaran sungai Ketambe. Hingga
akhirnya si burung malang di obati oleh salah seorang warga.
Burung Rangkong Paruh Dua |
Kupu-Kupu Sekitaran Sungai Ketambe, Aceh Tenggara |
Kecamatan Ketambe merupakan salah satu kecamatan di Aceh Tenggara yang dikelilingi oleh Kawasan Ekosistem Leuser. Dari sini kita bisa mendengar langsung kicauan burung dan auman siamang. Tak heran jika Ketambe sering dijadikan tempat penelitian oleh orang asing untuk meneliti berbagai flaura dan fauna.
Ketambe juga menjadi titik awal pendakian menuju Taman NasionalGunung Leuser (TNGL) yang merupakan rumah bagi 382 jenis burung, 105 jenis
mamalia, dan 95 spesies reptil dan amfibi. TNGL juga hulu dari 12 daerah aliran
sungai (DAS) baik di Aceh maupun Sumatera Utara.
Kawasan Ekosistem Leuser sering dianggap sama dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Padahal, ada perbedaan mendasar antara kedua istilah tersebut. Taman Nasional Gunung Leuser hanyalah bagian kecil dari Kawasan Ekosistem Leuser (Farwiza, HaKA).
Dibalik perasaan nostalgia ketika saya mengujungi wilayah
lintas tengah Aceh. Sejujurnya ada perasaan takut ketika nantinya generasi
kedepan tidak lagi bisa menatap lebatnya hutan Aceh. Dimana mereka hanya
mendengar cerita tentang Aceh yang pernah memiliki harimau, gajah, badak dan
orang utan dalam satu kawasan yang sama.
Sungai Leuser di Ketambe, Aceh Tenggara |
Dan mereka generasi mendatang hanya bisa mendengar tutur
cerita dari orang tua tentang bagaimana gagahnya gajah Sumatera dan anggunnya
Rangkong Paruh Dua. Selayaknya kita mendengar hikayat tentang gagah dan
berwibawanya Sultan Iskandar Muda.
Jumlah Badak Sumatera sendiri saat ini diperkirakan sekitar
100 badak lagi. Dengan sulitnya proses perkembangbiakan mereka ditambah dengan perambahan
hutan dan perburuan badak membuat fauna yang satu ini terancam punah dalam
waktu dekat.
Nyatanya ketika melihat laju deforestasi KEL dari 2014 –2016
sebesar 24.052 Ha, tidak menutup kemungkinan perasaan takut saya tersebut akan
menjadi kenyataan dalam beberapa tahun kedepan.
Lalu apa langkah yang harus kita tempuh untuk menghentikan
laju deforestasi dan melestarikan KEL?
Kondisi KEL Saat Ini
Tahun 2014, muncul petisi penting yang isinya meminta
pemerintah Aceh untuk merevisi Qanun Tata Ruang. Petisi tersebut didukung lebih
dari 1 juta orang, termasuk aktor Leonardo DiCaprio.
Kampanye dan dialog dengan pemerintah pun terus dilakukan,
namun tidak ada titik temu. Pada Februari 2014, Kementerian Dalam Negeri
mengeluarkan evaluasi perda, salah satunya, harus memasukkan KEL sebagai
Kawasan Strategis Nasional dengan Fungsi Lindung. Kalau tidak, perdanya akan
dicabut. Sayangnya, hingga kini tidak ada tindak lanjutnya.

Fungsi Kawasan Ekosistem Leuser yang sangat penting bagi
masyarakat Aceh dihapuskan dari Qanun
atau Perencanaan Tata Ruang Perda Aceh yang disahkan pada akhir tahun 2013.
Padahal, status KEL dalam UU adalah Kawasan Strategis Nasional dengan Fungsi
Lindung.
Seandainya pemerintah tidak mengembalikan KEL sebagai kawasan lindung, tangan-tangan kapitalis akan segera menjarahnya dan cepat atau lambat masyarakat yang tinggal di sepanjang pesisir Timur Aceh, di sepanjang pantai barat Aceh dan central highland akan jadi korban banjir tahunan, gagal panen, atau kekeringan (Farwiza, HaKA).
Berdasarkan pantauan Geographic Information System (GIS)
yang dilakukan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), dari Januari 2015
sampai April 2017, luas tutupan hutan Leuser, terutama di Provinsi Aceh, yang
hilang mencapai 22.021 hektare.
Rinciannya, Januari – Desember 2015 kerusakan mencapai
10.478 hektare. Januari – Desember 2016 sekitar 9.741 hektare. Sementara Januari
– April 2017, tutupan hutan KEL yang hilang berkisar 1.802 hektar.
Panut Hadisiswoyo, Direktur Orangutan Information Centre
(OIC) yang juga Juru Bicara Koalisi Penyelamatan TNGL mengatakan, kerusakan
TNGL terus terjadi di Aceh maupun Sumatera Utara. Sebagian besar, akibat pembukaan
lahan untuk kebun sawit dan jagung.
KEL terus dirambah dan di jarah, sementara itu ada ratusan
flaura dan fauna khas Indonesia yang menjerit minta bantuan agar mereka
diselamatkan.
Mereka yang selama ini terus teracancam kelangsungan
hidupnya karena keserakahan seglintir manusia.
Untuk tetap menjaga keberlangsungan hidup mereka tanpa
menegasikan pembangunan maka konservasi adalah jawabannya.
Konservasi dan
Tantangannya Selama Ini
KEL mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, mulai dari
jenis flora dan fauna khas Sumatera hingga hutan lebat yang menjadi benteng
terakhir Sumatera bahkan dunia. Kekayaan keanekaragaman hayati ini perlu dijaga
pengelolaannya dan dipastikan pemanfaatan dilakukan dengan baik.
Langkah-langkah konservasi menjadi perlu dilakukan agar
keanekaragaman hayati yang ada selalu terpelihara dan mampu mewujudkan
keseimbangan dalam kegiatan pembangunan.
Sejauh ini pemerintah Indonesia sudah menetapkan kawasan
konservasi yang mencapai areal sekitar 27 juta hektar atau 21 persen dari total
kawasan hutan dan perairan di Indonesia.
Kawasan konservasi seluas ini diklasifikasikan dalam
beberapa kategori seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman
Wisata Alam, Taman Buru dan Taman Nasional.
Pengelolaan terhadap kawasan konservasi yang luas agar tetap
lestari kondisinya bukanlah perkara mudah. Supaya langkah dalam merumuskan konservasi
KEL tidak salah arah dan tujuan kita perlu melihat terlebih dahulu beberapa
masalah yang selama ini menjadi tantangan dalam pelaksanaan konservasi di
Indonesia.
Pertama, terbatasnya tenaga pengelola di kawasan konservasi,
saat ini, hanya terdapat sekitar 3.508 orang untuk mengelola 27.108.486,54 ha
kawasan konservasi. Artinya, rata-rata 1 orang diberi tanggung jawab untuk
mengelola ± 3.552 hektar kawasan konservasi.
Kedua, terbatasnya pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah
untuk pengelolaan kawasan konservasi. Saat ini, alokasi budget untuk
pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah 3.40 USD/hektar, jauh lebih
rendah dibandingkan dengan alokasi budget
dari negara-negara lain.
Ketiga, masih banyak kawasan konservasi yang sudah ditunjuk
namun belum dikukuhkan. Hal ini memperumit penyelesaian tata batas kawasan
tersebut. Ditambah lagi, masih banyak kasus tumpang tindih klaim pemilikan atau
penguasaan atas kawasan di dalam maupun diluar kawasan hutan. Saat ini terdapat
sekitar 3746 desa berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Tanpa ada
kejelasan tenurial, konflik antara pengelola kawasan dan masyarakat desa akan
semakin luas baik lokasi maupun para pihak yang terlibat.
Keempat, masih perlunya pembenahan dalam pengelolaan kawasan
mengingat sampai tahun 2014, baru 187 kawasan konservasi (35,89%) yang telah
mempunyai rencana pengelolaan yang telah disahkan dan 85 kawasan konservasi
yang memiliki zonasi dan/atau blok pengelolaan.
Tantangan-tantangan tersebut diatas menggarisbawahi
pentingnya berbagai inisiatif untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan
kawasan konservasi. Salah satunya dengan pelibatan berbagai pihak, termasuk
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Konservasi KEL Berbasis Kolaborasi
Kembali seperti prinsip masyarakat Indonesia. Segala sesuatu
yang melibatkan berbagai pihak harus diselesaikan secara bersama-sama. Begitu
pula dalam upaya konservasi KEL.
KEL tidak bisa diselamatkan oleh satu atau dua pihak. Dengan
luasnya cakupan KEL yang meliputi dua provinsi di Indonesia hampir mustahil
menempuh cara “cilet-cilet” untuk menyelamatkan hutan raksasa Indonesia ini.
Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan kolaboratif (co-management) dalam pengelolaan kawasan
konservasi cukup marak dipromosikan oleh berbagai pihak.
Pendekatan Co-Management
adalah sebuah kerangka kerja yang menggambarkan suatu situasi dimana satu atau
lebih aktor sosial menegosiasikan, mendefinisikan dan menyepakati diantara
mereka sendiri tanggung jawab pengelolaan suatu kawasan sumberdaya tertentu
serta menjamin adanya pembagian manfaat yang adil atas sumberdaya tersebut.
Lebih spesifik lagi, pengelolaan kolaboratif merupakan
proses mengembangkan kerjasama antar pihak yang relevan, terutama antara
masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan
fungsi, hak dan tanggung jawab.
Perasaan takut akan hilangnya KEL beserta seluruh isinya
setidaknya akan menghilang jika kita mau menempuh upaya konservasi kolaborasi seperti
berikut :
1) Upaya konservasi membutuhkan kapasitas dan pelibatan
masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya para ahli konservasi, kaum professional
serta pihak pemerintah.
2) Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam mengkaitkan
kepentingan keanerakaragaman hayati dan kebudayaan yang memberi ruang bagi
masyarakat lokal dan adat untuk secara aktif dan terberdayakan selama
kolaborasi berlangsung;
3) Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam prinsip
kesetaraan dan keadilan, baik pembagian biaya dan manfaat yang diterima baik
dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumberdaya alam maupun
pemanfaatannya.
4) Upaya konservasi menuntut penghormatan terhadap hak-hak
sosial ekonomi masyarakat. Prinsip “Bek
na yang rugo atau do no harm” dalam
pelaksanaan konservasi penting dikedepankan agar tidak memberikan dampak buruk
terhadap kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat yang tinggal didalam dan
disekitar kawasan.
Pelibatan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi
penting mengingat masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan
konservasi sebelum kawasan tersebut ditetapkan. Karenanya menegasikan
keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat tidak mungkin
mengingat interaksi, pemahaman dan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cukup
tinggi.
Masyarakat adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung
terwujudnya pengelolaan kawasan yang efektif.
Ruang kerjasama pengelolaan kawasan konservasi yang telah
diberikan Negara selayaknya menjadi landasan dalam membangun kemitraan antar
pihak yang sejajar dalam kerangka pengelolaan, kawasan konservasi yang lestari
dan mensejahterkan masyarakat.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini diikut sertakan dalam Lomba Blog Saman Pengawal Leuser Yang dilaksanakan Oleh Leuser Lestari.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini diikut sertakan dalam Lomba Blog Saman Pengawal Leuser Yang dilaksanakan Oleh Leuser Lestari.
Sumber :
Pengelolaan Kawasan Konservasi Secara Kolaboratif, Lestari
Paper No. 01.
Press Conference HaKA "Temuan Data Kerusakan Hutan dan
Bukti Perburuan Satwa Liar di Kawasan KEL" , 19 Juli 2017.
http://www.mongabay.co.id/2016/12/08/akankah-tiga-taman-nasional-situs-warisan-dunia-ini-keluar-dari-status-bahaya/
http://www.mongabay.co.id/2017/02/23/ancaman-pembukaan-lahan-di-taman-nasional-gunung-leuser-itu-memang-ada/
http://www.femina.co.id/profile/farwiza-farhan-sekolah-tinggi-demi-konservasi-
http://www.mongabay.co.id/2017/07/04/foto-perambahan-yang-nyata-di-kawasan-ekosistem-leuser/
http://www.mongabay.co.id/2017/07/08/situs-warisan-dunia-masih-berstatus-bahaya-bagaimana-nasib-leuser/
Enak kali Dek Mat udah wet-wet Leuser
BalasHapusSemoga menang :D
Kalau udh ke Leuser pengen balek lg bang. Candu kalau udh ke sana.
HapusLuar biasa dek Mat, selalu berjaya dan berjuang di setiap karya penulisanmu. Banggaa!!
BalasHapusSemangat juga buat Papa Songket Aceh....
HapusSemoga Leuser terus lestari ya, Bang Dekmat. Semoga usaha konservasi juga terus berjalan dan didukung penuh pemerintah Aceh. Aamiin.
BalasHapusHarapannya gitu bang agar generasi ke depan ttp bsa melihat gajah, harimau, orang utan dan badak sumatera
HapusDekmat enak uda ke sana. Kepingin lah, pingin lihat leuser biar bisa ceritakan ke org2 bagaimana hutan kita #huhuhu😅😅😅
BalasHapusceritakan ke abang itu juga kak gmna hutan kita, #eaaakk
HapusAsik kali lah dek mat jalan-jalan sampe ke sana.
BalasHapusSelain menikmati pemandangan leuser, juga menikmati tulisannya bg rahmat aulia. Luar biasa
BalasHapus